Simpang Potong, Kota Padang. Sebentuk tubuh tua ringkih, tampak terduduk
lesuh. Tanpa alas di atas trotoar berwarna coklat. Tubuhnya hanya
terbungkus kemeja buram. Kepalanya, juga tertutup kopiah hitam yang
tampak sudah digerogoti usia. Kopiah itu, seolah setia menutupi
rambutnya yang memutih.
Lelaki tua itu bernama Anwar berumur
94. Tanah Kuranji adalah tempat pertama yang menyambut kelahiran Anwar.
Wajahnya keriput, dipenuhi bulu-bulu kasar berwarna abu-abu. Dengan gigi
yang hanya tinggal dua, mulut Pak tua tampak komat-kamit, menyeringai.
Sesekali, tangannya menengadah, pada setiap manusia yang berlalu.
Berharap belas kasihan dan secarik uang untuk pengisi perutnya yang
mulai minta diisi. Namun semua tampak acuh. Anwar tak putus asa,
tangannya semakin dijulurkan.
Anwar tak punya rumah. Hidupnya
hanya numpang di rumah warga Koto Baru, orang yang berbaik hati
menampung tubuh ringkihnya. Hidup sendirian di hari tua ternyata membuat
Anwar harus mengalah pada kerasnya dunia. 10 tahun sudah Anwar jadi
pengemis. Hanya menengadahkan tangannya, itulah cara Anwar bertahan
hidup. Maklum, usia yang hampir satu abad tak ada yang bisa
dikerjakannya. Tulangnya rapuh.
Jangan tanyakan keluarga pada
Anwar, sebab, itu hanya akan membuatnya menangis. "Saya tak punya
keluarga. Istri saya sudah meninggal tahun 1960. Bersama bayi yang
dikandungnya. Mati karena kurangnya gizi" terang Anwar. Air mata bening
menjalar di pipi keriputnya.
Tak seperti pengemis lainnya, yang
kebanyakan terbelakang dan tak pernah mengenyam pendidikan. Anwar lain.
Tiga bahasa asing, Bahasa Jepang, Ingris dan Belanda dikuasainya.
Bahkan waktu berdialog dengan POSMETRO sesekali lontaran ucapan
berbahasa Belanda pun diucapkannya. Anwar fasih, lidah tuanya seakan
sudah biasa melafazkan ucapan bahasa asing tersebut.
Semakin
penasaran dengan "Pak Tua Simpang Potong" itu, Penulis pun mulai
menjejeri langkah Anwar. Mencoba mengorek lebih dalam tentang dirinya.
Siapa gerangan Anwar, sudah rapuh tapi kuasai tiga bahasa? Ada sesuatu
cerita tersembunyi dari lembar hidup Pak tua dan itu membuat hasrat
penasaran penulis kambuh!. Dua hari menyatroni Anwar di simpang Potong,
akhirnya Penulis tahu kalau Anwar bukan pengemis sembarangan. Catatan
sejarah terpampang dari celoteh Pak Tua itu.
Memang sekarang
Anwar hanyalah pengemis tua yang menyedihkan. Hidupnya tak tentu arah.
Tapi, jika merunut sejarah "tempo doeloe" Anwar adalah pemuda gagah yang
ikut mengokang senjata melawan para penjajah. Pangkat yang disandang
Anwarpun tak main-main, Letnan Satu, Komandan Kompi 3 Sumatra Bagian
Selatan. Itulah daerah Anwar waktu menjabat sebagai serdadu bangsa untuk
mengusir penjajah. Bukankah luar biasa "si Anwar Muda"?.
"Saya
bekas tentara Sumatra Selatan. Di bawah pimpinan Bagindo Aziz Chan
(Pejuang Pakistan -+) saya menjadi komandan Kompi 3 untuk berpetualang,
melintasi medan demi menyerang Belanda. Tak terkira berbagai kisah pilu
yang saya alami saat perang bergejolak. Tapi, untuk bangsa itu semua
belum apa-apa. Hanya satu hal yang membuat kami bangga waktu pulang dari
medan perang. Bangga jika membawa topi serdadu Belanda, itu jadi
kebanggaan tersendiri dan membuat kita merasa terhormat,"ulas Anwar
menatap kosong.
Lubang kecil bekas hantaman peluru yang menghiasi kaki kananya, menjadi bukti keikutsertaan Anwar berjuang untuk bangsa.
"Kaki ini ditembus peluru di Jalan Jakarta (sekarang bernama Simpang
Presiden). Waktu itu hari masih pagi. Bangsa kita baru saja membuat
perjanjian dengan Belanda (Perjanjian Linggar Jati). Tapi Aziz Chan
menentang perjanjian itu. Belanda marah dan mengamuk. Menyerang membabi
buta di tengah Kota. Hasilnya, ya kaki ini kena tembak waktu mau pulang
ke Posko," terang Anwar.
Bukan sekali Anwar kena tembak,
bahkan, pengap dan lembabnya dinding jeruji besi pun telah dua kali
Anwar rasai. "Empat tahun saya dibui. Tertangkap waktu bergerilya, dari
Padang dengan tujuan Payokumbuah yang waktu itu (tahun 1946) sedang
bergejolak. Tapi sial, melewati Padangpanjang saya tertangkap Belanda.
Waktu itu, peluru habis sementara kaki saya masih terbalut secarik kain
yang menutupi lubang timah panas. Saya digiring, kaki dirantai, diberi
golongan besi, " ungkap Anwar mencoba merunut kembali petualangan masa
lalunya.
Di Panjang Panjang, Anwar diperlakukan tak senonoh
oleh tentara Belanda. Hantaman bokong senjata, sayatan belati sampai
minum air kencing "sang meneer" pun hampir tiap hari menyinggahi
kerongkongan Anwar. Namun Sang Letnan tetap tegar. Kepalanya tetap
tegak, walau kucuran darah dari pelipisnya tak pernah berhenti.
"Penjara dulu, bukan seperti sekarang. Dulu, tangan di ikat kawat
berduri, kaki di ikat dengan rantai yang diberi golongan besi. Saban
hari kena pukul. Bahkan, Untuk minum, mereka memberi air putih yang di
campur kencing," celoteh Anwar.
Soal Nasiolisme, Anwar bak " Si
Naga Bonar '' walau tua tapi kecintaannya pada Indonesia tak pernah
surut. Terus berkobar. "Saya pernah ditanya belanda, apakah saya
berjuang dan jadi tentara karena hanya sekedar kedudukan dan jabatan
semata?. Saya jawab aja apa adanya, " "Aku berjuang untuk Negara, bukan
kedudukan. Bila kelak aku mati di sini. Aku bangga, karena itu demi
negara," ulas Anwar mengingat kembali peristiwa hidup yang masih segar
dalam ingatannya.
Kemerdekaanpun sepenuhnya diraih Indonesia.
Namun tak begitu bagi Anwar, tak ada penghargaan yang diterimanya.
Pengorbanan dan perjuangannya yang dikibarkannya seorang Anwar seakan
dilupakan. Anwar hilang di tengah gegap gempita eforia kemerdekaan.
Ditambah kematian istri, seolah pembawa petaka. Anwar kehilangan
semangat hidup. Sempat terjerumus ke dunia hitam. Anwar tobat. Tapi,
hidup memang tak pernah berpihak pada Anwar. Semakin terlunta-lunta.
Hingga jalan sebagai pengemispun jadi pilihan terakhirnya.
Tak
ada tanda jasa, tak ada lencana penghormatan yang diterima Anwar dari
Pemerintah. Bahkan gelar pahlawan veteranpun tak singgah pada Anwar.
"Saya tak butuh apapun. Dulu, saya berjuang bukan untuk mendapatkan
tanda jasa. Saya berjuang untuk negara. Tak perlu tanda jasa apalagi
uang. Biarlah hidup begini, asal tak menganggu orang lain. Saya rela.
Memang, angkatan saya yang ikut mengangkat senjata kebanyakan tenang dan
menjalani masa tuanya dengan glamauran harta. Saya tak suka itu, bagi
saya berjuang bukan untuk kemapanan masa tua, tapi untuk kemerdekaan
bangsa. Biarlah orang memandang saya hina. Asal saya bisa tenang.
Biarlah hanya makan sehari yang penting bangsa ini merdeka,"jawab Anwar
tegar, segera berdiri, pergi minta segelas air kepada pedagang di depan
Masjid AL-Mubarah, Sawahan.
Hari ini , Jumat (1/8) Penulis
kembali berniat menemui Anwar. Namun, "Sang Letnan" menghilang dari
Simpang Kandang. Dua onggok batu yang biasanya jadi sandaran Anwar
kehilangan tuannya. Anwar raib. Padahal hari masih pagi, jarum jam baru
berada di angka sembilan. Kemana Anwar?.
Kecewa dengan
hilangnya Anwar, penulis mencoba menelusuri RTH (Ruang Terbuka Hijau)
Imam Bonjol. Tempat biasanya Anwar tidur ketika penat datang mendera
tubuh rentanya. Benar juga, tubuh renta Anwar tergolek diantara rumpun
hijau Imam Bonjol. Namun ada yang lain dari penampilan Anwar hari ini.
Bajunya tak hanya buram seperti kemarin, tapi lebih parah, kemeja biru
yang dipakainya sudah tak berbuah. Mempertontonkan tulang-tulangnya yang
kelihatan menonjol dibalut kulit keriput. Perutnya kempis. Sandalnyapun
berlainan warna, hijau dan biru berbalut seutas tali plastik warna
putih.
Mencoba mendekat, ternyata Anwar tertidur. Dadanya
terlihat turun naik beraturan, membusung. Tulang dadanya semakin
menonjol. Perlahan mata Anwar terbuka. Sesaat pandangannya kosong. "Tadi
Saya pingsan nak, perut lapar. Padahal saya belum dapat apa-apa. Saya
tak kuat berdiri. Untunglah ada seorang tukang becak yang kasihan pada
saya. Membelikan saya sebungkus nasi telur. Tapi badan ini masih lemas,"
terang Anwar lesu.
Seperti sebelumnya, Walaupun tubuh rentanya
masih lemah, Anwar tetap bercerita panjang lebar tentang kerasnya hidup
yang dilewatinya selama 10 tahun hidup dijalanan. "Saya hanya kuat
berdiri di simpang ini sampai pukul 11 siang. Tubuh ini sudah terlalu
tua untuk lama-lama berdiri. Matahari terlalu garang. Berlainan benar
waktu muda dulu, beratnya medan tempur selalu bisa saya taklukkan. Ah,
sampai kapan tubuh ini bisa bertahan menunggu kepingan logam. Saya tak
tahu," Anwar menerawang.
Perlahan, rentetan-rentetan kehidupan
Anwar mulai terkuak. Celoteh panjang Anwar menguak tabir tersebut.
Rupanya, Anwar juga pernah menjadi awak kapal barang berbendera Jerman.
Lulus di Sekolah Sembilan (Belakang Tangsi) tahun 1930. Anwar mulai
berpetualang. Dari tahun 1932 sampai 1939 Anwar berlayar. Dalam kurun
waktu itu tak sedikit keragaman budaya yang dilihat Pak Tua.
"Saya lulus sekolah Belakang Tangsi 1930. Selanjutnya berlayar tujuh
tahun mengelilingi Asia sampai ke Australia. Kemudian pulang untuk
berjuang. Saya tak mau bersenang-senang di atas Kapal, sementara Bangsa
kita sedang berjuang merebut kemerdekaan. Naluri kebangsaanlah yang
memanggil jiwa ini untuk ikut berjuang," terang Anwar.
Anwar
berpetualang, menyelusuri setiap pelosok Tanah Indonesia untuk berjuang
mengusir Sang Meneer dari Indonesia. Awalnya hanya bermodalkan bambu
runcing. Anwar akhirnya mendapatkan senjata rampasan dari tentara
Belanda. Senjata ditangan, Anwar muda mulai merengsek. Memuntahkan
pelurunya di barisan terdepan pejuang Indonesia.
"Pada awalnya
tak ada senjata. Kami hanya bermodalkan bambu. Namun, dari tangan
belanda yang berhasil kami bunuh, kami nisa memperoleh senjata. Dengan
itulah kami menyerbu musuh. Mengambil topinya sebagai "cinderamata" dari
medan tempur,";lanjut Anwar.
Hingga Akhirnya Indonesia
merdeka. Belanda pergi dari tanah Bangsa. Tentu, kemerdekaan itu adalah
hasil perjuangan pahlawan kita. Termasuk Si Anwar yang berjuang di dua
episode perang tersebut. Anwar bertarung dengan gagah. Namun apa yang
didapatkan sang Letnan?. Hingga detik ini Anwar masih berstatus pahlawan
bangsa yang terabaikan. Pahlawan yang menyongsong hari tuanya dengan
melakoni profesi sebagai pengemis. Indonesia merdeka, namun Anwar masih
tetap "terjajah oleh hidup"!!.
Memang, dulu Anwar pernah diberi
secarik kertas bertuliskan penganugrahan sebagai pejuang oleh
Pemerintah. Namun karena jalan hidupnya yang sering berpindah tempat
"surat wasiat" itu raib entah kemana. Padahal, surat itu adalah sebagai
landasan Anwar untuk menerima haknya sebagai Veteran."
"Memang
dulu saya diberi surat oleh Pemerintah. Kalau tak salahnya surat Bintang
Grelya. Tapi surat itu sudah hilang. Kata orang surat itu adalah syarat
untuk menerima tunjangan dari pemerintah. Tpi tak apalah, saya juga tak
perlu itu. Kan sudah saya katakan kalau saya berjuang bukan untuk uang
apalagi jabatan. Walaupun meminta-minta tapi saya tak menyusahkan orang
lain. Saya sudah pernah hidup senang di atas kapal. Sekarang saatnya
susah. Hidup seperti roda nak. Kadang di bawah. Sekali lagi, saya
berjuang untuk Indonesia. Melihat Merah Putih berkibar tanpa gangguan
itu adalah suatu kebanggaan tersendiri. Tak ada yang membuat saya
bahagia kecuali melihat kibaran bendera Indonesia," celoteh Anwar.
Letnan Kolonel Anwar, pahlawan bangsa kini tak ubah hanyalah tubuh tua
dekil, tak ada yang peduli. Anwar semakin pupus di tengah sibuknya Kota
Bengkuang. "Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para
Pahlawannya" kata Bung Karno. Namun itu hanyalah barisan kata, bukan
kenyataan. Tak percaya? tanyakan itu semua pada Anwar. Pahlawan kita
yang hinggga saat ini masih menengadahkan tangan untuk bertahan
hidup.Memang Anwar tak minta apa-apa dari perjuangannya. Tapi, apakah
kita tega melihat orang yang melepaskan kita dari jeratan penjajah harus
terlunta. Mengemis untuk hidup. Tanah kemerdekaan yang kita pijak
adalah hasil dari muntahan peluru Pahlawan mengusir penjajah. Namun
kenapa kita menutup mata untuk itu. Apakah rasa penghormatan kepada para
Pahlawan sudah pudar dihantam terjangan zaman. Sekali lagi, jangan
lupakan Anwar yang telah gigih perjuangkan bangsa. Pemerintah? mungkin
lupa juga akan nasib Sang Kapten.